Friday, 24 August 2012

Cerita Rakyat Nusantara : MANDI DARAH NAGA SAKTI




Ada sebuah kerajaan bemama kerajaan Ringin Anom. Rajanya bemama Prabu Aryo Seto. Raja mempunyai seorang puteri bepama Putr:i Kemuning. Prabu Aryo Seto memerintah dengan bijaksana, adil. Maka kerajaan Ringin Anom terkenal tenteram, makmur, tidak pernah terjadi kekacauan.

Namun Prabu Aryo Seto sangat masgul ketika putrinya Futri
Kemuning terserang penyakit langka yaitu keringat berbau tidak sedap. Sang prabu berusaha sekuat tenaga mencari obat, mencari tabib agar sakit Putri Kemuning dapat tersembuhkan.

Berbagai upaya dilakukan seperti makan daun kemangi, beluntas, juga tidak berhasil. Usaha terakhir dilakukan Prabu Aryo Seto yaitu bersemedi . minta petunjuk Tuhan agar penyakit langka itu dapat tersembuhkan.

Pada saat semadi, Prabu Aryo Seto mendengar suara : "Hai' Prabu Aryo Seto! Bila engkau ingin putrimu sembuh seperti semula, adakanlah sayembara." isi sayembara : " Barangsiapa dapat memetik daun Sirna Ganda yang tumbuh dalam gua di kaki gunung Arga Dumadi yang dijaga oleh seekor ular naga sakti dan selalu menyemburkan api dari mulutnya. Siapa berhasil memetik daun, akan mendapat hadiah sebagai menantu Sang Raja. Dan daun sima ganda harus dimakan oleh Putri Kemuning!"

Seminggu setelah sayembara diumumkan, kerajaan Ringin Anom kebanjiran peserta sayembara. Mereka menginginkan - hadiah yang menggiurkan. Pada hari ketujuh, datanglah seorang pemuda buruk rupa yang menderita sakit budug. Karena penyakit : tersebut ia dinamakan Jaka Budug. la menghadap sang prabu dengan maksud membantu menyembuhkan penyakit langka Putri Kemuning. la berdatang sembah : "Ampun tuanku! Hamba mohon ampun. Hamba memberanikan ciiri mengikuti sayembara untuk meringankan penderitaan Sang Putri, "

Sang Raja tertegun. la tatap tubuh Jaka Budug yang buruk rupa. Hatinya galau. Seandainya pemuda itu berhasil, apakah putrinya bersedia menjadi istrinya. Namun ia adalah Raja yang  dikenal adil dan bijaksana, tak mungkin ia membeda-bedakan keadaan rakyatnya, maka berkatalah ia: "Baiklah Jaka Budugl Kau juga rakyatku. Keingihanmu kuterima! Engkau : boleh mengikuti sayembara ini !

Sembah Jaka Budug : "Ampun,,Tuanku! Hamba mohon kepada Tuanku sang Raja, sebelum melaksanakan tugas apakah diperkenankan melihat keadaan sang putri?"

Jawab Sang Baginda, "Silahkan." Setelah melihat keadaan Putri Kemuning, Jaka Budug mohon diri untuk melanjutkan tugas mengambil daun Sirna Ganda.
Dari kejauhan, Jaka Budug telah dapat melihat semburan api dari mulut naga sakti penjaga pohon sirna Ganda. Jaka Budug dengan gesitnya memainkan pedang yang dibawanya mengenai badan ular naga. Badan ular yang terkena goresan pedang mengeluarkan darah dan darah tersebut mengena badan Jaka - Budug. Anehnya badan Jaka Budug seketika menjadi halus dan bersih dari penyakit budug.

Melihat tubuh dirinya bersih. Jaka Budug berjuang keras untuk membunuh ular naga sakti. Dengan kemampuan dan kelincahan Jaka Budug, akhirnya Naga sakti mati terbunuh. Pedang menancap pada leher ular, dan darah memancar dengan derasnya. oleh Jaka Budug, darah ular dipakai untuk mencuci wajahnya dan membasahi seluruh tubuhnya.  Seketika badan Jaka Budug bersih, tanpa ada bekas dari penyakit yang dideritanya.

Setelah ular naga mati, Jaka Budug segera mengambil beberapa lembar daun sirna Ganda, lalu dipersembahkan kepada Prabu Aryo Seto.

"Anak muda siapakah kau ini?" tanya Sang prabu.
"Hamba adalah Jaka Budug, Tuanku.,'
"Tapi...Jaka Budug badan dan wajahnya tidak setampan engkau."'
"lnilah karunia Dewata, Tuanku. Tubuh dan wajah hamba berubah karena mandi darah si Naga Sakti.”

Jaka Budug kemudian menceritakan pengalamannya sewaktu melawan ular naga sakti. Mendengar cerita tersebut, Prabu Aryo Seto merasa senang sekali. Putri Kemuning makan daun Sirna Ganda, sehabis makan terjadisuatu keajaiban. putri Kemuning menjadi sehat kembali. Kini bau keringat Putri Kemuning kembali harum. Sesuai dengan janji prabu Aryo Seto, maka jaka Budug diainbil menantu dipersuntingkan dengan Putri Kemuning, Jaka Budug dan Putri Kemuning hidup bahagia sebagai pewaris tahta.

No comments:

Post a Comment