Cerpen Dewi Lestari
Ada yang tidak beres
dalam perjalanan saya menuju Jakarta. Di sepanjang jalan menuju gerbang tol
Pasteur, saya melihat pokok-pokok palem dalam kondisi terpotong-potong,
tersusun rapi di sanasini, apakah ini jualan khas Bandung yang paling baru?
Sayup, mulai terdengar bunyi mesin gergaji. Barulah saya tersadar. Sedang
dilakukan penebangan pohon rupanya. Dari diameter batangnya, saya tahu
pohon-pohon itu bukan anak kemarin sore. Mungkin umurnya lebih tua atau seumur
saya. Pohon palem memang pernah jadi hallmark Jalan Pasteur,
tapi tidak lagi. Setidaknya sejak hari itu. Hallmark Pasteur hari ini adalah
jalan layang, Giant, BTC, Grand Aquila, dan kemacetan luar biasa. Bukan yang
pertama kali penebangan besar-besaran atas pohon-pohon besar dilakukan di kota
kita. Seribu bibit jengkol pernah dipancangkan sebagai tanda protes saat
pohon-pohon raksasa di Jalan Prabudimuntur habis ditebangi. Jalan Suci yang
dulu teduh juga sekarang gersang. Kita menjerit sekaligus tak
berdaya. Bukankah harus ada harga yang dibayar demi pembangunan
dan kemakmuran Bandung? Demi jumlah penduduknya
yang membuncah? Demi kendaraan yang terus membeludak?
Demi mobil plat asing yang menggelontori jalanan
setiap akhir pekan? Beda dengan sebagian warganya,
pohon tidak akan protes sekalipun ratusan tahun hidupnya
disudahi dalam tempo sepekan.
Pastinya
lebih mudah menebang pohon daripada menyumpal mulut
orang. Seorang arsitek legendaris Bandung pernah berkata,
lebih baik ia memeras otak untuk mendesain sesuai kondisi
alam ketimbang harus menebang satu pohon saja, karena
bangunan dapat dibangun dan diruntuhkan dalam sekejap,
tapi pohon membutuhkan puluhan tahun untuk tumbuh
sama besar. Sayangnya, pembangunan kota ini tidak dilakukan
dengan paham yang sama.
Para
pemimpin dan perencana kota ini lupa, ukuran keberhasilan
sebuah kota bukan kemakmuran dadakan dan musiman,
melainkan usaha panjang dan menyicil agar kota ini punya
lifetime sustainability sebagai tempat hidup yang layak
dan sehat bagi penghuninya. Bandung pernah mengeluh kekurangan
650.000 pohon, tapi di tangannya tergenggam gergaji
yang terus menebang. Tidakkah ini aneh? Tak heran, rakyat makin
seenaknya, yang penting dagang dan makmur. Bukankah itu contoh
yang mereka dapat? Yang penting proyek
'basah' dan kocek tambah tebal. Proyek hijau mana ada duitnya, malah
keluar duit. Lebih baik ACC pembuatan mall atau trade centre. Menjadi
kota metropolis seolah-olah pilihan tunggal. Kita tidak sanggup berhenti
sejenak dan berpikir,
adakah identitas lain, yang mungkin lebih baik dan lebih bijak, dari
sekadar menjadi metropolitan baru? Saya percaya
perubahan bisa dilakukan dari rumah sendiri, tanpa harus
tunggu siapa-siapa. Jika kita percaya dan prihatin Bandung
kekurangan pohon, berbuatlah sesuatu. Kita bisa mulai
dengan Gerakan Satu Orang Satu Pohon.
Hitung
jumlah penghuni rumah Anda dan tanamlah pohon sebanyak
itu. Tak adanya pekarangan bukan masalah, kita bisa
pakai pot, ember bekas, dsb. Mereka yang punya lahan lebih
bisa menanam jumlah yang lebih juga. Anggaplah itu sebagai
amal baik Anda bagi mereka yang tak bisa atau tak mau
menanam. Pesan moralnya sederhana, kita bertanggung jawab
atas suplai oksigen masing-masing. Jika pemerintah kota
ini tak bisa memberi kita paru-paru kota yang layak, tak mampu
membangun tanpa menebang pohon, mari perkaya oksigen
kita dengan menanam sendiri.
Ajarkan ini
kepada anak-anak kita. Tumbuhkan sentimen mereka pada
kehidupan hijau. Bukan saja anak kucing yang bisa
jadi peliharaan lucu, mereka juga bisa punya pohon peliharaan
yang terus menemani mereka hingga jadi orangtua. Mertua saya
punya impian itu. Di depan rumah yang baru kami huni, ia menanam puluhan
tanaman kopi. Beliau berharap cucunya kelak akan melihat cantiknya pohon kopi,
dengan atau tanpa dirinya. Sentimen sederhananya tidak hanya membantu
merimbunkan Bukit Ligar yang gersang, ia juga telah membuat
hallmark memori, antara dia dan cucunya, lewat pohon
kopi. Kota ini boleh jadi amnesia. Demi wajahnya yang baru
(dan tak cantik), Bandung memutus hubungan dengan sekian
ratus pohon yang menyimpan tak terhitung banyaknya memori.
Kota ini boleh jadi menggersang. Jumlah taman bisa dihitung
jari, kondisinya tak menarik pula. Namun mereka yang hidup
di kota ini bisa memilih bangun dan tak ikut amnesia. Hati mereka
bisa dijaga agar tidak ikut gersang. Rumah kita
masih bisa dirimbunkan dengan pohon dan aneka tanaman.
Besok, atau lusa, siapa tahu? Bandung tak hanya beroleh
650.000 pohon baru, melainkan jutaan pohon dari warganya
yang tidak memilih diam.