MARTINI
Oleh: Kurniawan Lastanto
Wanita itu bernama
Martini. Kini ia kembali menginjakkan kakinya di lndonesa, setelah tiga tahun ia
meninggalkan kampung halamannya yang berjarak tiga kilometer dari arah
selatan Wonosari Gunung Kidul. Didalam benak Martini berbaur rasa senang, rindu dan
haru. Beberapa jam lagi ia akan berjumpa kembali dengan suaminya, mas Koko dan
putranya Andra Mardianto, yang ketika ia tinggalkan masih berusia tiga tahun.
Ia membayangkan putranya kini telah duduk dibangku sekolah dasar mengenakan
seragam putih – merah dan menmpati rumahnya yang baru, yang dibangun oleh
suaminya dengan uang yang ia kirimkan dari arab Saudi, Negara dimana selama ini
ia bekerja. Martini adalah seorang tenaga kerja wanita yang berhasil diantara
banyak kisah mengenai tenaga kerja wanita yang nasibnya kurang beruntung. Tidak
jarang seorang TKW pulang ketanah airnya dalam keadaan hamil tanpa jelas siapa
ayah sang janin yang dikandungnya. Atau disiksa, digilas dibawah setrikaan
bersuhu lebih dari 110 derajat celcius, atau tiba – tiba menjadi bahan
pemberitaan di media massa tanah air karena sisa hidupnya yang sudah ditentukan
oleh vonis hakim untuk bersiap menghadapi tiang gantungan atau tajamnya logam pancung
yang kemudian membuat kedubes RI, Deplu dan Depnaker kelimpungan dan tampak
lebih sibuk.
Sangatlah
beruntung bagi Martini mempunyai majikan yang sangat baik, bahkan dalam tiga
tahun ia bekerja, ia telah dua kali melaksanakan umroh dengan biaya sang majikan.
Majikannya adalah seorang karyawan disalah satu perusahaan minyak disana. Ia
bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga di El Riyadh dengan tugas khusus
mengasuh putra sang majikan yang sebaya dengan Andra, putranya. Hal
ini membuatnya selalu teringat putranya sendiri dan menambah semangat dalam bekerja. Dengan
cermat Martini memperhatikan sekeliling, akan tetapi ia tidak melihat seorang
saudara atau kerabatpun yang ia kenal. Sempat terbersit rasa iri dan kecewa
ketika ia menyaksikan beberapa rekanannya yang dijemput dan disambut
kedatangannya oleh orang tua, anak atau suami mereka. Namun dengan segera ia
membuang jauh – jauh pikiran tersebut. Ia tidak ingin suuzon dengan suaminya. “mungkin
hal ini disebabkan karena kedatanganku yang memang terlambat tiga hari dari
jadwalkepulangan yang direncanakan sebelumnya,” pikirnya huznuzon.
Dan pikiran
ini malah membuatnya merasa bersalah, karena ia tidak memberitahukan
kedatangannya melalui telepon sebelumnya. Akhirnya ia
memutuskan untuk menuju terminal pulogadung dengan taksi bandara. Oleh karena
ia tidak tahu dimana pool bus maju lancar terdekat dari bandara
soekarno-hatta, ia berharap diterminal pulogadung ia bisa langsung
menemukan bus tersebut dan membawanya ke wonosari dengan nyaman, karena badannya
sekarang sudah terlalu letihuntuk perjalanan panjangyang ditempuh
dari arab Saudi. Tanpa ia sadari, martini telah sampai didepan rumahnya, rumah
yang merupakan warisan ayahnya, yang ia huni bersama mas koko, andra dan
ibunyayang telah renta. Namun bingung dan pertanyaan muncul dalam benaknya. Yang
ia lihat hanyalah rumah tua tanpa berubahan sedikitpun, kecuali kandang sapi
didekat rumahnyayang kini telah kosong. Sama keadaanya dengan tiga tahun
lalutatkala ia meninggalkan rumah tersebut. “ mana rumah baru yang mas koko
bangun seperti yang ada difoto yang mas koko kirimkan tiga bulan yang lalu. Apakah
ia membeli tanah ditempat lain dan membangunnya disana. Kalau begitu
syukurlah,” pikirnya mencoba huznuzon.
Ia ketuk
perlahan – lahanpintu rumahnya. Namun tidak ada seorangpun yang muncul membukakan
pintu “kulo nuwun,
mas…! Andra…! Mbok…!”
Beberapa saat kemudian
barulah pintu yang terbuat dari kayu glugu tersebut terbuka.” Madosi sinten
mbak?”
Tanya seorang bocah
berusia 6 tahun yang tak lain adalah andra yang muncul dari balik pintu. “Andra aku
ini ibumu, sudah lupa ya. Apakah bapakmu tidak menceritakan ihwal
kedatanganku?” ucap martini balik bertanya.
“Ayah? Kedatanagn ibu? Oh mari masuk. Sebentar ya, andra
bangunkan mbah dulu,” ujar Andra sambil berlari menuju kearah kamar neneknya.
Martini
masuk kedalam rumah dan duduk diatas amben yang terletak disudut ruangan depan,
seraya memperhatikan keadaan didalam rumah yang ia huni sejak kecil tersebut.
Keadaan dalam rumahpun tidak tampak ada perubahan yang berarti. “Martini ya.
Wah – wah anakku sudah datangdari perantauan,” terdengar suara tua khas ibu
martini sedang setengah berlari keluar dari kamarnya, menyambut kedatangan
anaknya, diikuti oleh andra , membawakan segelas the hangat. “bagaimana keadaan
simbok disini?”, Tanya martini. “oh, anakku simbok di sini baik – baik saja,
kamu sendiri bagaimana, tini?” “saya
baik – baik saja mbok, ngomong –
ngomong mas koko dimana mbok?” Tanya martini. Mendengar pertanyaan itu, tiba –
tiba air muka ibu martini berubah,
ia tampak berpikir – piker sejenak. “ oh mengenai suamimu, nanti
akan simbok ceritakan, sebaiknya kamu ngaso dulu. Kau pasti capek setelah melakukan
perjalanan jauh. Jangan lupa the hangatnya diminum dulu,” saran ibu martini.
Martini
menurut saja apa yang dikatakan ibunya. Setelah menikmati segelas the hangat,
ia mengangkat kaki dan tiduran di atas amben. Namun tetap saja ia tidak dapat
memejamkan matanya. Pikirannya tetap melayang memikirkan
suaminya ; dimana dia, apakah dia merantau ke Jakarta untuk turut mencari
nafkah diperantauan, dimana letak rumah barunya, atau apakah mas koko malah
meninggalkan dirinya dan menikah dengan wanita lain?” “ah tidak
mungkin,” pikirnya kembali berusaha untuk tetap huznuzon. Ia mencoba bangkit
lalu menemui ibunya yang sedang memasak dipawon. “maaf Mbok, dimana mas koko,
tini sudah kangen dan ingin berbicara dengannya,” ujar martini membuka kembali
percakapan. Ibu martini tampak kembali berfikir sejenak,
lalu berdiri dan mengambil segelas air putih dingin dari kendi.
“ minumlah air putih ini agar kamu lebih tenang, Tini,
nanti simbok ceritakan di mana suamimu berada, kalau kamu memang sudah tidak
sabar.”
Sementara itu martini bersiap untuk mendengarkan dengan
seksama penuturan ibunya.
“ tiga bulan lalu rumah yang dibuat suamimu atas biaya
dari kamu sudah jadi. Letaknya didusun sebelah sana, namun sejak itu pula
kesengsem sama seorang wanita. Wanita itu adalah tetangga barunya. Dua bulan
lalu mereka menikah dan meninggalkan andra bersama simbok. Tentu saja simbok
marah besar kepadanya. Namun apa daya, simbok hanyalah wanita yang sudah renta,
sedang ayahmu sudah tiada, dan uang yang simbok pegangpun pas – pasan. Mau
mengirim surat kepadamu simbok tidak bisa, kamu tahukan simbok buta huruf. Mau minta
tolong kepada siapa lagi, sedangkan kamu adalah anakku satu – satunya. Kamu
tidak mempunyai saudara yang bisa simbok mintai tolong untuk mengirimkan surat
kepadamu, sedangkan anakmu, andra masih kelas 1 SD”.
Mendengar penuturan ibunya,
martini langsuung menangis, ia sedih marah dan kalut.
“mengapa simbok tidak
melaporkannya ke pak kadus dan pak kades, dan beliaupun sudah berjanji untuk membantu
simbok. Namun sampai saat ini simbok belum mendapatkan jawabannya. Sedangkan
suamimu sendiri dan istri barunya , tampak tak peduli dengan
suara – suara miring para tetangga. Dan untuk lapor ke KUA, simbok
tidak berfikir sampai kesitu, maafkan simbok,” tambah ibunya dengan suara yang
terdengar bergetar.
“Duh Gusti...., paringono
sabar...,." terdengar Martini terisak, berusaha untuk tetap ingat kepada
Yang Maha Kuasa. Bagaimana bisa, suami yang begitu ia cintai dan ia
percaya, dapat berbuat begitu kejam terhadapnya. Apalagi ia
sekarang tinggal bersama istri barunya, di rumah hasil jerih payahnya selama
tiga tahun merantau di Arab Saudi.
"Mbok, di mana rumah baru itu berada?” wajah ibunya
terlihat ketakutan, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan anaknya dalam keadaan
kalut di sana apabila ia tahu letak rumah tersebut.
"Mbok di mana Mbok,” Suara Martini semakin tinggi,
namun ibunya tetap diam.
,”Kenapa simbok tidak mau
membertihu. Apakah Simbok merestuinya?_Apakah simbok mendukungnya? Apakah
Simbok membela bajingan itu dari pada saya anakmu sendiri? Apakah.....”
“Diam Tini, teganya kamu menuduh ibumu seperti itu. Kamu
mau menjadi anak durhaka? Ingatlah kamu kepada Tuhan,Nak, ingatlah kepada Gusti
Allah nak"
Kalimat itu
muncul dari mulut ibunya, yang kemudian terduduk menangis mendengar ucapan
pedas anaknya tersebut.
“ya sudah kalau Simbok tidak mau
memberitahu. Tini akan cari sendiri rumah itu,” teriak Martini seraya
meninggalkan ibunya yang sangat
bersedih, yang berusaha mengejarnya namun kemudian jatuh tersungkur di halaman depan rumahnya karena
tidak mampu lagi mengeiarnya.
“Hei , mana Koko, bajingan
sialan,"teriak Martini sambil berjalan membabi buta, menyusuri jalan
dengan muka merah
Padam.
Pikrannya kacau balau. “Buat apa
aku bekerja jauh-jauh mencari uang di Arab Saudi demi kamu dan.Andra tetapi
mengapa kau tega memanfaatkanku, menggunakan uangku untuk membuat rumah dan
tinggal di sana bersama istri barumu, Kurang apa aku?”
Mendengar
teriakan Martini, kontan para tetangga di sekitar situ segera berhamburan ke
luar rumah. Mereka kebingungan menyaksikan ulah Tini yang sudah tidak mereka
lihat selama tiga tahun, tiba – tiba muncul kembali di
dusun itu dengan tingkah laku yang berubah 180 derajat. Martini yang dulunya
lembut, penurut, kini kasar dan beringasan. Apakah ia telah gila? Apakah yang telah
terjadi terhadap dirinya di Arab saudi? Apakah ia Dianiaya
sebagaimana sering terdengar berita di media massa mengenai TKW yang disiksa?. Namun
kemudian mereka segera menyadari. Hal ini pasti karena Martini telah mengetahui
perbuatan suaminya. Segera saja mereka mengejar dan mencoba menenangkan
Martini. Namun dengan kuat Martini mencoba melepaskan tangannya dari dekapan
tetangganva itu. Dan saat itu pula ia melihat suaminya, ya Koko bajingan itu,
keluar dari rumahnya. Koko tampaknya tidak menghiraukan kedatangannya. Bahkan
istri barunya itu terlihat dengan mesranya berdiri disamping koko yang
meletakkan keduavtangannya dipinggang koko.
,,” hei, siapa kamu. Tini ya.
Kenapa kamu kesini? Ini rumahku bersama mas koko. Bukannya kamu sudah mati, kalau
belum mendingan kamu mati saja sekarang. Itu lebih baik, dari pada mau merusak
kebahagiaan kami. Bukan begitu mas koko?” ujar wanita yang ada disebelah koko
sambil mengalungkan tangan kanannya dileher koko dengan
lembutnya.
Hal ini jelas membuat
tini makin marah. “hai , dasar kau, wanita murahan, tidak tahu diri. Koko
adalah suamiku. Dan kau koko, mengapa kau tega menipuku, meninggalkanku hanya
untuk menikahi wanita keparat ini. Dasar bajingan.” Dekapan tetangga yang
memegang Martini akhirnya lepas. Dengan cepat Martini meraih sebuah bamboo yang
tergeletak di bawah pohon nangka dan berlari menuju kearah koko dan istri
barunya. Dengan tidak hati-hati ia menaiki anak tangga yang menuju kedalam
rumah baru itu. Secepat kilat ia mengayunkan bambu itu ke arah mereka berdua.
Namun malang, belum sampai bamboo itu mengenai sasaran, ia kehilangan
keseimbangan. Ia terpeleset dari dua anak tangga dan jatuh terjerembab tak
sadarkan diri. ”Mbak – Mbak bangun Mbak. Mau turun di mana Mbak. Ini sudah
sampai di wonosari," terdengar sayup-sayup suara pemuda yang duduk di
dekat Martini.
"Astaghiirullaahaladzlm
.Ha...apa...?.. W onosari," Tanya Martini.
“ Ya Mbak sepertinya dari tadi
Mbak gelisah tidurnya" ujar pemuda itu
”Apakah benar ini wonosari?"
Tanya Martini memastikan seraya mengarahkan pandangannya keluar jendela. Ya ini
adalah daerah yang telah tiga tahun ia tinggalkan.
"Alhamdulillah ya. ,Allah
terima kasih," batin Martini bahagia.
Penjelasan cerpen :
1.
UNSUR
INTRINSIK
-
Tema :
percayalah pada niat baikmu
-
Latar :
·
Tempat : dalam bis(dalam perjalanan) dan di kampung
·
Waktu : tiga tahun setelah kepergian martini ke Arab
Saudi
-
Suasana : diawal cerita suasana yang timbul basa saja,
tetapi pada pertengahan cerita suasana yang timbul menegangkan karena adanya
konflik yang timbul ketika tokoh utma bermimpi
-
Plot/alur
: alur cerita itu adalah alur maju(episode) karena jalan cerita dijelaskan
secara runtut.
Pada
awal cerita diawali dengan
pengenalan tokoh, kemudian si tokoh bermimpi, pada mimpinya timbul suatu pertentangan yang berlanjut ke konflik(klimaks)
dilanjutkan dengan antiklimaks dan pada akhir cerita terdapat penyelesaian.
-
Perwatakan :
·
Tokoh
utama(Martini)
: wataknya yang sabar,lembut ,pekerja
keras, bertanggung jawab terhadap keluarga, hal ini di
tunjukan dari penjelasan tokoh,penggambaran fisik tokoh serta tanggapan tokoh lain
terhadap tokoh utama
·
Tokoh
pembantu :
§ Mbok : sabar
§ Andra :
patuh terhadap orang tua
§ Mas koko :
tidak bertanggung jawab terhadap keluarga
-
Sudut
pandang : orang ketiga
-
Amanat
:
·
Seharusnya suami bertanggungjawab untuk mencari nafkah
bagi anak dan istrinya
·
Jangan dulu bersikap su’udzon kepada seseorang bila belum
ada buktinya
·
Keuletan dan kesabaran dalam bekerja akan membuahkan hasil yang baik
·
Selalu berniat baik untuk mendapatkan ridho Allah
swt
2.
UNSUR
EKSTRINSIK
-
Nilai
moral :
Dalam cerpen tersebut
terdapat kandungan nilai moral yaitu seseorang haruslah bersikap huznudzon terhadap sesama manusia, karena husnudzon mencerminkan akhlak serta budi pekerti yang
baik.
-
Nilai
Sosial-budaya :
Cerita pada cerpen tadi
mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahwa kebanyakan orang yaitu
wanita pergi merantau ke negeri orang demi membantu perekonomian keluarga
seperti menjadi
TKW, sedangkan suaminya menunggu dirumah, untuk dikirimi uang dari istrinya
tanpa berpikir , susahnya mencari
uang dinegeri orang, sedangkan dia sendiri tidak bekerja. Namun, hal ini
bertolakbelakang dengan budaya serta
tradisi, bahwa yang wajib mencari nafkah untuk keluarganya adalah suami. Karena
suami adalah pemimpin
dalam rumah tangga, jadi ia harus bertanggungjawab terhadap keluarganya.
Tetapi, hal ini rupanya sudah
banyak terjadi di masyarakat, sehingga tidak jarang pula orang-orang yang
menjumpai hal tersebut.
No comments:
Post a Comment