Pada waktu itu, si
pemuda yang bernama lengkap Fahri bin Abdullah Shiddiq, sedang dalam perjalanan
menuju Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq yang terletak di Shubra El-Kaima, ujung
utara kota Cairo, untuk talaqqi (belajar secara face to face pada seorang
syaikh) pada Syaikh Utsman Abdul Fattah, seorang Syaikh yang cukup tersohor di
seantero Mesir. kepadanya Fahri belajar tentang qiraah Sab’ah (membaca
Al-Qur’an dengan riwayat tujuh imam) dan ushul tafsir (ilmu tafsir paling
pokok). Hal ini sudah biasa dilakukannya setiap dua kali seminggu, setiap hari
Ahad/Minggu dan Rabu. Dia sama sekali tidak pernah melewatkannya walau suhu
udara panas menyengat dan badai debu sekalipun. Karena baginya itu merupakan
suatu kewajiban karena tidak semua orang bisa belajar pada Syaikh Utsman yang
sangat selektif dalam memilih murid dan dia termasuk salah seorang yang
beruntung.
Di dalam metro,
Fahri tidak mendapatkan tempat untuk duduk, mau tidak mau dia harus berdiri
sambil menunggu ada kursi yang kosong. Kemudian ia berkenalan dengan seorang
pemuda mesir bernama Ashraf yang juga seorang Muslim. Merteka bewrcerita
tentang banyak hal, termasuk tentang kebencian Ashraf kepada Amerika. Tak
berapa lama kemudian, ada tiga orang bule yang berkewarganegaraan Amerika (dua
perempuan dan satu laki-laki) naik ke dalam metro. Satu diantara dua perempuan
itu adalah seorang nenek yang kelihatannya sudah sangat lelah. Biasanya orang
Mesir akan memberikan tempat duduknya apabila ada wanita yang tidak mendapatkan
tempat duduk, namun kali ini tidak. Mungkin karena kebencian mereka yang
teramat sangat kepada Amerika. Sampai pada suatu saat, ketika si nenek hendak
duduk menggelosor di lantai, ada seorang perempuan bercadar putih bersih yang
sebelumnya dipersilahkan Fahri untuk duduk di bangku kosong yang sebenarnya
bisa didudukinya, memberikan kursinya untuk nenek tersebut dan meminta maaf
atas pwerlakuan orang-orang Mesir lainnya. Disinilah awal perdebatan itu
terjadi. Orang-orang Mesir yang kebetulan mengerti bahasa Inggris merasa
tersinggung dengan ucapan si gadis bercadar. Mereka mengeluarkan berbagai
umpatan dan makian kepada sang gadis, dan ia pun hanya bisa menangis. Kemudian
Fahri berusaha untuk meredakn perdebatan itu dengan menyuruh mereka membaca
shalawat Nabi karena biasannya dengan shalawat Nabi, orang Mesir akan luluh
kemarahannya dan ternyata berhasil. Lalu ia mencoba menjelaskan pada mereka
bahwa yang dilakukan perempuan bercadar itu benar, dan umpatan-umpatan itu
tidak layak untuk dilontarkan. Namun apa yang terjadi, orang-orang Mesir itu
kembali mrah dan meminta Fahri untuk tidak ikut campur dan jangan sok alim
karena juz Amma saja belumtentu ia hafal. Kemudian emosi mereka mereda ketika
Ashraf yang juga ikut memaki perempuan bercadar itu, mengatakan bahwa Fahri
adalah mahasiswa Al-Azhar dan hafal Al-Qur’an dan juga murid dari Syaikh Utsman
yang terkenal itu. Lantas orang-orang Mesir itu meminta maaf pada fahri. Fahri
kemudian menjelaskan bahwasanya mereka tidak seharusnya bertindak seperti itu
karena ajaran Baginda Nabi tidak seperti itu. Lalu ia pun menjelaskan bagaimana
seharusnya bersikap kepada tamu apalagi orang asing sesuai dengan yang
diajarkan oleh Rasulullah Saw. Mereka pun mengucapkan terima kasih pada fahri
karena sudah megingatkan mereka. Sementara itu, si bule perempuan muda, Alicia,
sedang mendengarkan penjelasan tentang apa yang terjadi dari si perempuan
bercadar dengan bahasa Inggris yang fasih.Kemudian Alicia berterima kasih dan
menyerahkan kartu namanya pada Fahri. Tak berapa lama kemudian metro berhenti
dan perempuan bercadar itupun bersiap untuk turun. Sebelum turun ia mengucapkan
terima kasih pada Fahri karena sudah menolongnya tadi. Akhirnya mereka pun
berkenalan. Dan ternyata si gadis itu bukanlah orang Mesir melainkan gadis asal
Jerman yang sedang studi di Mesir. Ia bernama Aisha.
No comments:
Post a Comment