Friday, 28 June 2013

Perjanjian Roem Royen




Tepat pada pukul 17.00 tanggal 7 Mei 1949 telah tercapai suatu persetujuan antara pemerintah Indonesia dengan Belanda yang disebut “Persetujuan Roem-Royen”. Persetujuan Roem-Royen merupakan salah satu peristiwa penting dari serangkaian perundingan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menuju pengakuan kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949. Persetujuan Roem-Royen diawali dengan perundingan RI- Belanda pada tanggal 17 April 1949 atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia. Perundingan diadakan di Hotel Des Indes Jakarta dipimpin oleh Merle Cochran. Delegasi Indonesia diketuai oleh Mr. Moh. Roem dan Mr. Ali Sastroamidjojo sebagai wakil ketua. Anggota-anggotanya, yaitu dr. Leimena, Ir. Djuanda, Prof. Dr. Mr. Supomo, Mr. Latuharhary, dan disertai oleh lima orang penasihat. Adapun Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van Royen dengan anggota-anggota: Mr. N.S. Blom, Mr. A. Jacob, Dr. J.J. van der Velde, dan empat orang penasihat. Delegasi RI dalam pidatonya menuntut agar perundingan ini lebih dahulu menyetujui pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta setelah itu baru akan dibahas mengenai soal-soal lainnya. Pihak Belanda bersedia mendahulukan perundingan mengenai syarat-syarat untuk kemungkinan kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta, namun tiap kewajiban yang mengikat yang mungkin timbul dalam perundingan harus ditunda hingga dicapainya kesepakatan tentang penghentian perang gerilya dan perjanjian pelaksanaan KMB. Kedua belah pihak tetap teguh pada pendirian masing-masing sehingga perundingan berjalan amat lambat. Pihak RI sebenarnya bukanlah menuntut pengembalian Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta dari pengasingan ke Yogyakarta, tetapi menuntut pengembalian pemerintah RI disertai dengan pengakuan kedaulatan atas wilayah tertentu dari pihak Belanda. Hal ini dilakukan karena pihak Belanda terus-menerus menggerogoti wilayah RI yang diakui secara de facto dalam Persetujuan Linggajati dengan mendirikan negara-negara boneka di wilayah yang dikuasainya. Untuk menghindari kebuntuan dalam perundingan, pihak RI melakukan langkah lain. Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 24 April 1949 datang ke Jakarta untuk melakukan perundingan informal dan langsung dengan pihak Belanda disaksikan oleh Merle Cochran. Keesokan harinya perundingan itu dimulai. Hatta menyatakan bahwa perundingan itu untuk membantu memberikan penjelasan kepada delegasi Belanda mengenai tuntutan RI. Perundingan lanjutan pun dilakukan sebanyak dua kali, tanggal 28 April dan 4-5 Mei 1949. Pemerintah Belanda akhirnya dapat menyetujui pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta, dengan syarat penghentian perang gerilya. Namun, Belanda hanya mengakui wilayah RI seluas lima mil persegi. Hal itu menimbulkan keberatan pihak RI karena wilayah seluas lima mil persegi adalah sangat berbahaya bagi keamanan. Pihak RI menuntut daerah seluas Yogyakarta termasuk lapangan terbang Maguwo dan batas selatan Samudra Indonesia. Namun tuntutan RI itu ditolak Belanda. Kesepakatan akhirnya dicapai pada tanggal 7 Mei 1949. Ketua Delegasi Indonesia Mr. Moh. Roem atas nama Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta menyatakan kesanggupan untuk memudahkan : Pengeluaran perintah kepada “pengikut RI yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya, Kerja sama dalam hal pengembalian perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan, Turut serta dalam KMB di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat. Ketua Delegasi Belanda Dr. van Royen selanjutnya membacakan pernyataan yang antara lain berisi : Delegasi Belanda menyetujui pembentukan satu panitia bersama di bawah pengawasan Komisi PBB dengan tujuan untuk : mengadakan penyelidikan dan persiapan yang perlu sebelum kembalinya pemerintah RI, mempelajari dan memberikan nasihat tentang tindakan yang diambil dalam melaksanakan penghentian perang gerilya dan kerja sama mengembalikan perdamaian serta menjaga keamanan dan ketertiban. Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah RI  harus bebas dan leluasa melakukan jabatan sepatutnya dalam satu daerah meliputi Keresidenan Yogyakarta. Pemerintah Belanda membebaskan tidak bersyarat pemimpin-pemimpin Indonesia dan tahanan politik yang tertangkap sejak tanggal 19 Desember 1948. Pemerintah Belanda menyetujui RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat (NIS). Konferensi Meja Bundar di Den Haag akan dilaksanakan secepatnya setelah pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta. Pada konferensi tersebut\ diadakan pembicaraan tentang bagaimana cara-cara mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat (NIS).

No comments:

Post a Comment