Tepat pada
pukul 17.00 tanggal 7 Mei 1949 telah tercapai suatu persetujuan antara
pemerintah Indonesia dengan Belanda yang disebut “Persetujuan Roem-Royen”.
Persetujuan Roem-Royen merupakan salah satu peristiwa penting dari serangkaian
perundingan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menuju pengakuan
kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949.
Persetujuan Roem-Royen diawali dengan perundingan RI- Belanda pada tanggal 17
April 1949 atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia. Perundingan diadakan di
Hotel Des Indes Jakarta dipimpin oleh Merle Cochran. Delegasi Indonesia
diketuai oleh Mr. Moh. Roem dan Mr. Ali Sastroamidjojo sebagai wakil ketua.
Anggota-anggotanya, yaitu dr. Leimena, Ir. Djuanda, Prof. Dr. Mr. Supomo, Mr.
Latuharhary, dan disertai oleh lima orang penasihat. Adapun Belanda dipimpin
oleh Dr. J.H. van Royen dengan anggota-anggota: Mr. N.S. Blom, Mr. A. Jacob,
Dr. J.J. van der Velde, dan empat orang penasihat. Delegasi RI dalam pidatonya
menuntut agar perundingan ini lebih dahulu menyetujui pengembalian pemerintah
RI ke Yogyakarta setelah itu baru akan dibahas mengenai soal-soal lainnya.
Pihak Belanda bersedia mendahulukan perundingan mengenai syarat-syarat untuk
kemungkinan kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta, namun tiap kewajiban yang
mengikat yang mungkin timbul dalam perundingan harus ditunda hingga dicapainya
kesepakatan tentang penghentian perang gerilya dan perjanjian pelaksanaan KMB.
Kedua belah pihak tetap teguh pada pendirian masing-masing sehingga perundingan
berjalan amat lambat. Pihak RI sebenarnya bukanlah menuntut pengembalian
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta dari pengasingan ke Yogyakarta,
tetapi menuntut pengembalian pemerintah RI disertai dengan pengakuan kedaulatan
atas wilayah tertentu dari pihak Belanda. Hal ini dilakukan karena pihak
Belanda terus-menerus menggerogoti wilayah RI yang diakui secara de facto dalam
Persetujuan Linggajati dengan mendirikan negara-negara boneka di wilayah yang
dikuasainya. Untuk menghindari kebuntuan dalam perundingan, pihak RI melakukan
langkah lain. Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 24 April 1949 datang ke
Jakarta untuk melakukan perundingan informal dan langsung dengan pihak Belanda
disaksikan oleh Merle Cochran. Keesokan harinya perundingan itu dimulai. Hatta
menyatakan bahwa perundingan itu untuk membantu memberikan penjelasan kepada
delegasi Belanda mengenai tuntutan RI. Perundingan lanjutan pun dilakukan
sebanyak dua kali, tanggal 28 April dan 4-5 Mei 1949. Pemerintah Belanda
akhirnya dapat menyetujui pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta, dengan
syarat penghentian perang gerilya. Namun, Belanda hanya mengakui wilayah RI
seluas lima mil persegi. Hal itu menimbulkan keberatan pihak RI karena wilayah
seluas lima mil persegi adalah sangat berbahaya bagi keamanan. Pihak RI
menuntut daerah seluas Yogyakarta termasuk lapangan terbang Maguwo dan batas
selatan Samudra Indonesia. Namun tuntutan RI itu ditolak Belanda. Kesepakatan
akhirnya dicapai pada tanggal 7 Mei 1949. Ketua Delegasi Indonesia Mr. Moh.
Roem atas nama Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta menyatakan
kesanggupan untuk memudahkan : Pengeluaran perintah kepada “pengikut RI yang
bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya, Kerja sama dalam hal
pengembalian perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan, Turut serta dalam
KMB di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang
sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak
bersyarat. Ketua Delegasi Belanda Dr. van Royen selanjutnya membacakan
pernyataan yang antara lain berisi : Delegasi Belanda menyetujui pembentukan
satu panitia bersama di bawah pengawasan Komisi PBB dengan tujuan untuk :
mengadakan penyelidikan dan persiapan yang perlu sebelum kembalinya pemerintah
RI, mempelajari dan memberikan nasihat tentang tindakan yang diambil dalam
melaksanakan penghentian perang gerilya dan kerja sama mengembalikan perdamaian
serta menjaga keamanan dan ketertiban. Pemerintah Belanda setuju bahwa
pemerintah RI harus bebas dan leluasa
melakukan jabatan sepatutnya dalam satu daerah meliputi Keresidenan Yogyakarta.
Pemerintah Belanda membebaskan tidak bersyarat pemimpin-pemimpin Indonesia dan
tahanan politik yang tertangkap sejak tanggal 19 Desember 1948. Pemerintah
Belanda menyetujui RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat (NIS).
Konferensi Meja Bundar di Den Haag akan dilaksanakan secepatnya setelah
pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta. Pada konferensi tersebut\ diadakan
pembicaraan tentang bagaimana cara-cara mempercepat penyerahan kedaulatan yang
sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat (NIS).
No comments:
Post a Comment